Sabtu, 03 Januari 2009

Catatan untuk Asep S. Sambodja



oleh Medy Loekito

Puisi-puisi Asep S. Sambodja yang termuat dalam kumpulan sajak Menjelma Rahwana membawa saya pada kesimpulan bahwa Asep memiliki "kekuatan" lebih dalam mencipta puisi-puisi bernuansa humor. Ambil contoh puisi "Main-main Hidup Tak Main-main":

Rendra bilang,
Hidup memang berat
Gelap dan berat.

aku kasihan sama Rendra
kenapa dia memikul batu malam-malam?

Chairil bilang,
Aku mau hidup seribu tahun lagi

lalu kutengok kuburnya, di Karet
kasihan, penyair tak bisa
mewujudkan impiannya

Contoh lain, penggalan puisi "Sajak Malam Pertama":

ini seandainya kita jadi duduk berdua
di pelaminan semalaman
barangkali aku bisa tersenyum tanpa henti
barangkali kau menahan tangis tak habis-habis
-- kutahu karena kau ingin cepat-cepat ke ranjang

Kesan penyampaian melalui canda juga saya temukan dalam puisi "Tuhan, Sudahkah Kau Baca Koran Hari ini?". Dalam puisi ini Asep menuliskan antara lain:

Sudah, kusarankan padaMu
Berlangganan koran mulai hari ini
Barangkali ada yang lucu

Wartawan jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini berhasil memberikan nilai komunikatif yang tinggi melalui ungkapan humornya melalui puisi. Namun demikian, puisi-puisi Asep memiliki kelemahan imagery, tetapi kelemahan seperti ini memang umum terdapat pada puisi-puisi prosaik.

Di salah satu halaman, saya temukan puisi Asep yang bernada humor, tetapi memiliki filosofi yang dalam. Akan saya kutipkan puisi itu seutuhnya:

Aku Tahu Siapa Kau

hakikat manusia adalah kata

kalau kamu bilang: kerjakan!
berarti kau majikan
kalau kamu bilang: ya, tuan
berarti kau pelayan

kalau kamu bilang: palingkan!
berarti kau juragan
kalau aku bilang: Tidak
lalu kau mau apa

Perhatikan bagaimana Asep membaca keadaan manusia secara terbalik, yakni bahwa manusia bergantung pada kata, bukan menguasai kata. Di sini terbaca semacam pesan tersembunyi, hati-hatilah terhadap kata, atau hati-hatilah berbicara. Puisi yang sarat makna ini disusun Asep dalam bentuk semacam humor ringan, bahkan Asep sempat memperkuat nuansa humornya melalui dua kalimat terakhir. Puisi di atas juga memiliki ritme yang cukup stabil. Didukung dengan aplikasi anaphora, puisi ini menimbulkan nuansa musikal sederhana tetapi menarik.

Pada halaman 23, puisi berjudul "Pengembara" sangat menggelitik. Puisi sederhana ini mengekspresikan pernyataan cinta secara lembut, bukan emosi cinta yang vulgar menggebu ataupun emosi cinta penuh rayuan klise.

Dengan mudah pembaca dapat merasakan cinta sejati yang diberikan oleh sang "aku narasi" kepada seorang gadis yang dikaguminya, hingga gadis itu pun dipilihnya sebagai kawan dalam menapaki hari-hari kehidupannya.

..... ini bunga dari surga, pikirku
lalu gadis itu
kubawa pergi
mengembara

Kesederhanaan dan kelembutan yang sama terasa pada puisi "Puisi Kecil buat Ana". Puisi sedih ini tampil dengan tenang, tidak cengeng atau penuh ratapan klise.

Puisi berjudul "Kehidupan" yang terdiri dari tiga bait sebenarnya akan terasa lebih sempurna apabila terdiri dari dua bait pertama saja.

Kehidupan

angin berderai
membawa sebutir debu
jatuh di bawah pohon talas
di kebun pak tani
dia berucap
terima kasih, Tuhan

setetes air bening
bergulir di daun talas
jatuh di rumput hijau
dan terbangun
aku berucap
terima kasih, Tuhan

kicauan burung-burung
dan seruling anak gembala
saling beriringan
menyanyikan lagi tentang
kehidupan

Bait pertama dan kedua dari puisi ini memiliki ritme senada dan telah berhasil menyampaikan "kehidupan" itu sendiri, yang terlukis melalui interaksi antar berbagai elemen kehidupan, seperti angin, debu, pohon talas, rumput, serta Tuhan. Bait ketiga yang tampaknya dibuat untuk menegaskan misi bait pertama dan kedua, malah menjadikan puisi ini mentah. Dalam hal seperti ini, kadang diperlukan naluri kepenyairan untuk memutuskan kapan sebuah puisi harus diakhiri.

Memaknai sebuah puisi memang individual. Demikianlah tulisan ini, merupakan pendapat saya pribadi. Terimakasih saya sampaikan kepada Asep S. Sambodja yang telah memberi saya kesempatan "belajar" dari puisi-puisinya. ***

---------------------
* Medy Loekito, penyair, mantan ketua Yayasan Multimedia Sastra.

Tidak ada komentar: