Selasa, 23 Maret 2010

Dari Diskusi Lekra dan Politik Sastra di Bandung


oleh Asep Sambodja

Dalam diskusi “Lekra dan Politik Sastra” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Sabtu, 20 Maret 2010, Jakob Sumardjo mengatakan, “berbeda dengan tahun 1950-1960-an, ketika Lekra selalu dikaitkan dengan partai politik, Lekra yang sekarang adalah Neo Lekra.” Hal itu dikatakan Jakob Sumardjo menanggapi pernyataan penyair Lekra Sutikno W.S. yang hadir dalam diskusi tersebut. Pujangga Boemipoetra Saut Situmorang yang juga menjadi pembicara menambahkan, “Sudah waktunya membentuk Lekra Baru, karena sudah terlalu lama Lekra ditenggelamkan.”
Dalam diskusi yang dipadati seniman-seniman muda Bandung itu, Sutikno W.S. mengatakan perlunya sastrawan menghasilkan karya yang tinggi mutu ideologinya dan tinggi mutu artistiknya. “Yang dimaksud tinggi mutu ideologi adalah bagaimana sastra kita bersikap memuliakan kehidupan, menghormati kemanusiaan, mensyukuri kehidupan. Kuncinya: memuliakan kemanusiaan,” kata Sutikno.
Dia menambakan, orang-orang Lekra menulis karya sastra dengan menggambarkan kehidupan dan tercermin dalam karya sastra kita. “Kalau kita melihat kehidupan kita sehari-hari, manusia masih direndahkan. Karena itu kita menulis untuk memuliakan manusia dan mengangkat derajat manusia. Dalam karya, kita tampilkan segi-segi yang baik yang diperjuangkan. Yang dipahlawankan bukan para jenderal, melainkan para prajurit yang berada di medan pertempuran, karena merekalah yang berjuang. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, para petani dan buruhlah yang perlu diperhatikan, karena merekalah yang bekerja dan berkeringat untuk kehidupan orang banyak,” ujarnya.
Sutikno juga menjelaskan bahwa buku Nyanyian dalam Kelam itu ia tulis di dalam penjara sebagai bentuk penolakan terhadap segala bentuk penistaan terhadap manusia. Jakob Sumardjo menaymbut baik pernyataan Sutikno itu. “Kalau tujuannya seperti itu, maka itu semacam Neo Lekra. Tinggal buktikan saja, berkarya dengan dasar-dasar seperti itu dan berlomba dengan yang lain.”
Putu Oka Sukanta yang juga hadir dalam diskusi tersebut mengingatkan bahwa sastra Lekra dihilangkan atau dieliminasi oleh penguasa secara terstruktur dan sistematis, sehingga menimbulkan refraksi dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia. “Kalau mau lihat Lekra jangan sepotong-sepotong. Jangan bicara Lekra tanpa orang Lekra. Di zaman Soeharto telah terjadi pemblejetan terhadap orang Lekra, namun orang Lekra tidak boleh masuk,” kata sastrawan Lekra ini.
Putu Oka menjelaskan, saat ini sudah ada lima buku yang berbicara mengenai Lekra. “Pertama, buku Asep Sambodja yang berbicara mengenai Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Kedua, buku Keith Foulcher mengenai Social Commitment in Literature and the Arts. Ketiga, tulisan Goenawan Mohamad dalam buku Sastra dan Kekuasaan. Keempat, buku Yahaya Ismail yang berasal dari skripsi di UI. Kelima, Prahara Budaya Taufiq Ismail.”
Perlu saya tambahkan di sini bahwa ada satu buku penting mengenai Lekra yang justru dilarang rezim SBY-Boediono, yakni buku Lekra Tak Membakar Buku karya Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Fakta-fakta dari perspektif orang-orang Lekra yang berkaitan dengan peristiwa 1960-an justru dilarang oleh penguasa.
Dalam diskusi di tempat Soekarno muda (24 tahun) dan kawan-kawan Partai Nasional Indonesia (PNI) pernah diadili ini memang sangat menarik. Jakob Sumardjo berangkat dari semboyan yang menjadi pendirian sastrawan Lekra: “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”. Menurut Jakob, sastrawan-sastrawan dunia juga menerapkan idealisme sastra seperti itu. “Semua karya sastra harusnya seperti itu,” tegas Jakob Sumardjo.
Ia mencontohkan sastrawan Jepang yang ideologinya terpengaruh oleh Budha bisa digemari oleh berbagai kalangan dari berbagai ideologi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menciptakan karya sastra, apapun ideologinya, yang bisa diterima oleh orang lain yang memiliki ideologi yang bermacam-macam. “Jadi tidak hanya dipuji di kalangannya sendiri saja, tapi dipuji juga di luar kalangan itu.”
Jakob mengangkat kearifan lokal dalam budaya Indonesia. Di Sunda dikenal adagium tekad-ucap-lampah, sementara di Jawa dikenal dengan niat-ilmu-laku. Ketiga hal itu merupakan satu kesatuan. Pikiran (ilmu/ucap) itu menghasilkan perbuatannya (tindakan/karya/lampah/laku/empirik). “Jadi, tidak perlu dibuat oleh siapa, tapi perbuatannya bisa diterima oleh semua orang,” jelasnya.
Jakob menambahkan bahwa puncak ideologi adalah jika karya itu bisa diterima oleh orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Karena, lanjutnya, keinginan manusia itu sama, yakni hidup yang lebih baik, menginginkan keadilan, tidak ingin ditindas, tidak ingin diperlakukan tidak adil. “Keinginan manusia sama semuanya: ingin masuk surga dan tidak ingin masuk neraka. Hanya, caranya untuk menempuh tujuan itu yang berbeda-beda.”
Jakob mencontohkan, puisi “Gadis di Hutan” karya S. Anantaguna dalam buku Puisi-puisi dari Penjara justru memperlihatkan seorang gadis yang meratapi kebebasan. “Bebas di sini bias berarti bebas-dari dan bebas-untuk. Puisi ini bisa ditafsirkan jika kita sudah bisa diterima di dalam sebuah kelompok, berarti kita sudah bebas. Makanya kalau Boemipoetra mengejek kan enak saja. Telanjang bersama sudah tidak malu lagi, sudah merasa bebas, kebebasan sebagai orang dalam.”
Jakob juga mengutip sebuah puisi Hr. Bandaharo yang memperlihatkan konsep niat-ilmu-laku tadi. Puisi tersebut berjudul “Aku Hadir di Hari Ini” yang ditulis di Pulau Buru pada 1975. Khususnya bagian 4.

manusia menurut fitrahnya mencintai keadilan
tapi senantiasa terdorong berbuat kezaliman
sejak adam, sejak kaen, sejak dulu-dulu
kezaliman pun dilawan dengan kezaliman
dan manusia berkata:
kamilah pembela keadilan!

wahai, manusia
mengapatah kamu katakan
sesuatu yang kamu tidak lakukan?

Menurut Jakob Sumardjo, yang penting adalah realitas karya. “Apapun di balik itu, entah dia dari mana, musuh kita, pikiran, dan ideologinya, buat karya yang bisa diterima banyak orang. Inilah yang dikatakan tinggi mutu ideologi dan artistik. Tindakan lebih penting dari pikirannya. Ilmu itu terjadinya lewat laku/perbuatan”
Sementara Saut Situmorang lebih menyoroti persoalan politik sastra dari zaman Balai Pustaka hingga kini. Menurutnya, Balai Pustaka, Manikebu, dan Horison melakukan politik kanonisasi sastra; mana yang diselamatkan dan mana yang dibuang atau disingkirkan.
Balai Pustaka melakukan kanonisasi sastra dengan dua faktor, yakni faktor bahasa dan isi. Dari segi bahasa, karya sastra yang menggunakan bahasa melayu pasar, bahasa yang dipergunakan rakyat sehari-hari, bukan dianggap sebagai high culture, dianggap sebagai bacaan liar. Sementara dari segi isi, karya-karya fiksi yang mengangkat pernyaian dianggap melukai tuan besar Belanda, karena isinya memperlihatkan kelakuan tuan besar Belanda yang ngeseks karena kekuasaan. Jadi, kata Saut, karya-karya seperti itu dianggap sangat menghina kelaki-lakian laki-laki kulit putih.
Manikebu juga begitu. Paus sastra H.B. Jassin dalam esainya mengenai “Angkatan 66” menggunakan bahasa jurnalistik politik yang berkaitan dengan politik praktis, bukan dengan bahasa sastra. Semboyan “Politik sebagai panglima” yang dituduhkan ke Lekra justru dilakukan secara sistematis oleh orang-orang Manikebu dengan menghilangkan Lekra dari sejarah sastra Indonesia. Akibatnya tidak ada informasi tandingan mengenai Lekra. “Ada informasi yang sengaja dihilangkan; Mukadimah Lekra tidak dibaca secara mendalam. Yang diagung-agungkan justru Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang formalistik itu,” kata penyair Yogya asal Medan ini.
Apa yang dilakukan Teater Utan Kayu (TUK) dengan Tukulismenya makin canggih politik sastranya. “Kalau TUK bilang di luar teks tidak ada apa-apa, maka saya katakan, di luar politik sastra, tidak ada apa-apa,” tegas Saut Situmorang, penulis buku Politik Sastra ini.
Politik sastra yang dilakukan Goenawan Mohamad dan TUK-Salihara itu dijelaskan Saut seperti ini: kepada dunia luar, selalu dikatakan bahwa TUK adalah representasi sastra Indonesia. Sementara ke dalam dikatakan: kalau mau go international harus melalui TUK.
Lebih jauh Saut mengatakan bahwa ada sebuah ketakutan atau fobia terhadap realisme sejak Orba berkuasa. Realisme sangat direndahkan. Justru yang dikembangkan adalah formalisme Tardji yang bergulat pada abjad saja. “Sejak berkuasanya Orba dan Manikebu, di majalah Horison hampir tidak ada karya realisme. Kalaupun ada realisme, dikatakan sebagai realisme magis. Sutardji dan Danarto dikatakan sebagai formalisme sufi. Hanya orang TUK yang bisa menuliskan itu.”
Mungkinkan karya sastra menyebabkan perubahan sosial? Di Amerika ada Uncle’s Tom Cabin. Di Indonesia ada Pramoedya Ananta Toer. “Bahwa pengarang menulis fiksi itu sama dengan menulis sejarah baru yang beda dengan sejarahnya Nugroho Notosusanto dan Taufiq Ismail.
Dalam polemik kebudayaan yang dibukukan Achdiat Kartamihardja itu ada satu hal penting yang dilupakan Achdiat dan mereka yang berpolemik, bahwa pada saat itu mereka sedang dijajah Belanda. Ada realitas bahwa mereka sedang dijajah sama sekali tidak diucapkan. Orang-orang seperti inilah yang membayangkan nasionalisme Indonesia. Dan kita harus mempertanyakan hal itu. “Bisa nggak, kita menolak sesuatu yang sudah dibayangkan oleh founding fathers kita?” tanyanya. “Menulis sejarah, realisme, itu adalah persoalan besar.”
Jakob Sumardjo mengingatkan kita pada kearifan lokal orang Baduy. “Yang panjang, jangan dipotong, yang pendek jangan disambung.” Artinya, kalau yang penjang itu dipotong, maka ia akan sama dengan yang pendek. Kalau yang pendek itu disambung, maka ia akan sama dengan yang panjang. Jadi, orang Baduy itu mengakui adanya perbedaan, dan karenanya tidak perlu diseragamkan. “Sayang saya terlambat membaca buku Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dan lain-lain. Kalau kita bandingkan dengan novel-novel sezamannya, maka novel Mas Marco itu lebih modern, karena to the point, bahasanya sederhana, natural.”
Jakob mengatakan, bahwa sebenarnya semua orang merupakan anak-anak yang hilang.

Bandung-Citayam, 20-21 Maret 2010
Asep Sambodja

Catatan: Hadir dalam diskusi ini di antaranya Yopi Setia Umbara (moderator), Matdon (MC), Putu Oka Sukanta, S. Anantaguna, Sutikno W.S., Muhidin M. Dahlan, Astuti Ananta Toer, Irina Dayasih, Svetlana Dayani, Ilham Aidit, Imam Abda, Tuty Martoyo, Nuraini Hendra Gunawan, Salim, Rama Prabu, Wong Agung Utomo, Iman Budi Santoso, Dian Hartati, Bilven Sandalista, Dadan M. Ramdan, dan masih banyak lagi.

Minggu, 14 Maret 2010

Surat Buat Narita



Narita yang baik,
Saya sudah membaca tujuh puisimu. Temanya beragam, itu sangat bagus, terlebih lagi ada tema sosial. Bahkan kritik sosial. Yang seperti ini yang harus sering diasah. Diksi atau pilihan katamu untuk beberapa puisi, seperti “Asa”, “Tuhan”, dan “Sajak yang Terisak” sudah bagus. Artinya, sudah ada kata-kata puitis yang kau ciptakan. Hanya saja, kurang greget. Ini bisa dibuat lebih greget lagi jika Narita sebagai penyair lebih merapatkan jarak antara penulis dan objek yang hendak ditulis. Caranya dengan menggunakan perspektif atau sudut pandang aku.


Barangkali akan lebih jelas jika saya memberikan contoh konkret. Kalau kita ingin menulis tentang penderitaan seorang korban bencana alam, misalnya, maka kita harus benar-benar menghayati penderitaan si korban itu. Kita masuk dan merasuk ke dalam dirinya. Kita serap deritanya. Maka, yang akan terekspresikan dalam puisi kita nantinya bukan kata-kata “jari itu” atau “jemari itu”, melainkan “jariku” atau “jari-jari ini” atau “jemari ini” dan seterusnya. Kamu tidak lagi menulis penderitaan itu dengan kata “mereka”, melainkan “aku”, karena aku-penyair-Narita telah merasuk menjadi si korban bencana alam itu.


Perspektif aku-an memang akan menghapus jarak yang ada, sehingga terasa lebih greget. Bayangkan, lebih greget mana: pengakuan seorang perempuan perkosaan dengan keterangan dari polisi yang menangani kasus perkosaan itu. Sebagai penyair, kau harus menempatkan diri pada diri si perempuan korban perkosaan itu, kau rasakan bagaimana sakitnya, kau hayati penderitaannya, dan kemudian yang keluar dari puisi-puisimu adalah “aku” yang menjadi perempuan itu. Bukan “aku” yang menjadi polisi atau wartawan yang melaporkan peristiwa itu.
Begitu juga kalau bicara tentang Tuhan. Tidak akan lagi kau katakan “sorot mata itu”, melainkan “sorot matamu” atau “sorot mataMu”. Ini untuk menggambarkan hubungan yang demikian dekat, tak berjarak, antara kau dengan Tuhanmu.


Puisi “Pengaduan Bocah Sakurata” dan “Jika Korupsi Jadi Tradisi” memperlihatkan kepekaan sosialmu. Ini bagus. Cuma, tantangannya memang sangat berat. Tidak masalah membuat puisi-puisi pamflet, puisi-puisi protes, hanya saja, apakah puisi protes itu masih bisa dinikmati sebagai karya seni? Ini sebuah tantangan yang maha berat yang hanya bisa ditaklukkan jika kita terus menulis. Dalam dua puisi itu sikapmu sebagai penyair sudah memperlihatkan posisimu yang membela orang-orang tertindas, teraniaya, tersisihkan, terpinggirkan, kaum lemah, wong cilik, orang-orang yang tak berdaya. Bagi saya, ini sudah merupakan modal utama untuk menulis puisi-puisi yang bertema sosial-politik seperti itu. Sekali lagi, teruslah menulis agar tajam terasah.


Kamu bertanya, bagaimana menuliskan tanggal? Meminjam pernyataan Pramoedya Ananta Toer—sastrawan hebat Indonesia yang patut diteladani—puisi-puisimu itu adalah anak-anak rohanimu. Sama seperti proses kelahiran seorang anak manusia, penulisan tanggal kelahiran adalah ketika anak itu keluar dari rahim ibu, bukan saat sel telur dibuahi oleh sperma. Jadi, begitulah Narita.


Semoga cukup memuaskanmu.

Citayam, 18 Januari 2010
Asep Sambodja

Narita yang baik,
Surat pertamaku sejatinya mencerminkan keinginan seorang pembaca akan sebuah puisi. Mungkin ini pun begitu pula. Hanya saja, kali ini saya ingin mengetahui kau ingin bicara apa melalui puisi-puisimu itu. Terus-terang, saya sangat menyukai puisi “Mata Tua” yang kau tulis dengan sangat intens. Kau menggunakan kata-kata yang terjaga dengan baik. Kata-kata itu yang akan memancarkan makna; makna puisi itu, makna kata-kata itu, makna kehidupan yang kau serap dan kau ekspresikan melalui “Mata Tua”. Agar tidak membuat penasaran pembaca lainnya, kali ini izinkan saya memuat puisimu itu dalam catatanku kali ini.

Mata Tua

surya rebah

langit memar memerah

di kelopak mata

yang menutup baru saja

Putri Narita Pangestuti

Kendal, 27 Januari 2008

Bagai seorang fotografer, kau menangkap saat-saat senja yang memang senantiasa memberi inspirasi kepada manusia untuk menafsirkannya. Puisi itu bisa ditafsirkan secara harfiah maupun simbolis. Keduanya sama-sama bermutu. Secara harfiah, misalnya, situasi matahari terbenam itu sendiri menimbulkan keindahan. Pengalaman menyaksikan sunset di Kuta dan Tanah Lot, Bali, misalnya, selalu saja menyimpan memori yang tak terlupakan. Ada cerita di balik pemandangan itu; di balik keindahan itu. Secara simbolis, senja bisa ditafsirkan sebagai perlambang kematian. Kehidupan manusia memang fana. Dan Tuhan, kalau kita percaya adanya Tuhan, selalu memberi tanda-tanda. Bahwa ada saatnya manusia akan menemui ajalnya.


Dalam Alquran juga disuratkan bahwa ternyata kehidupan di dunia itu sangat sementara, sangat sekejap, hanya seperti sebuah sore. Bayangkan, dalam firman Tuhan itu “sore” yang sebentar itu menjadi lambang kesementaraan hidup. Begitu pula dengan puisi “Mata Tua”-mu yang menurut saya sangat bagus. Biarlah pembaca memberi penafsiran yang berbeda-beda. Goenawan Mohamad pernah mengatakan, seribu kepala seribu penafsiran. Tapi, kau tak perlu gusar ataupun risau. Semakin banyak interpretasi yang diberikan kepada puisimu, maka semakin kayalah karyamu itu. Bahkan penafsiran yang saling bertentangan sekalipun!


Dalam puisi “Dikejar Bayang-bayang Kelam”, kau menggambarkan orang-orang yang kalah. Sebenarnya itu tidak masalah, tapi saya ingin memberi nilai lebih buatmu sebagai penyair. Saya contohkan penyair perempuan lain, Dorothea Rosa Herliany, yang dalam puisi-puisi terbarunya sudah semakin kuat, semakin matang, dan semakin “menjadi”, kata Chairil Anwar. Kenapa bisa demikian? Karena, menurut saya, Dorothea sudah menemukan visinya; dia sudah memiliki kesadaran sebagai seorang feminis. Dengan demikian, puisi-puisi yang dihasilkannya pun mencerminkan visinya itu. Puisi-puisi yang diciptakannya sudah menyuarakan kepentingan perempuan; segala persoalan dilihat dari perspektif atau kacamata perempuan. Oleh karena itu, sangat wajar Dorothea menghasilkan puisi-puisi yang mendobrak budaya patriarki (dominasi laki-laki atas perempuan) dan mengangkat harkat dan martabat perempuan.


Sebagai contoh, ketika dia menggambarkan tokoh Sita (atau Sinta) dalam epos Ramayana, maka yang tergambar bukan lagi Sinta yang pasrah, yang menurut begitu saja dengan Rama, yang mau begitu saja membakar dirinya sendiri untuk membuktikan kesucian. Tidak. Sinta yang digambarkan Dorothea adalah seorang perempuan yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Dia tidak mau dibodohi untuk mempertanggung jawabkan kesuciannya. Karena, keberadaan Sinta di istana Rahwana bukanlah atas kehendaknya, melainkan ia diculik. Karena itu, bisa keluar dari sarang penculik saja sebetulnya sudah syukur alhamdulillah. Lha, kok, Rama masih meragukan kesuciannya? Dorothea mempertanyakan, kenapa laki-laki masih suka curiga dan tidak percaya pada keperawanan seorang perempuan? Apakah laki-laki juga menjaga kesuciannya sendiri?


Nah, Narita, contoh di atas saya pikir pas untuk diterapkan pada puisi “Punta Dewa”. Saya tidak membatasi kau mau mengangkat tokoh apa saja, tokoh siapa saja, dengan catatan, jangan lupakan visimu, pemikiranmu. Tidak selalu harus tunduk pada konvensi yang telah ada. Artinya, kalau selama ini orang menganggap pandawa itu bagus semua, kau harus hati-hati, kau harus curiga; harus kritis: benarkah semua tokoh pandawa bagus semua? Kalau kau teliti tokoh Arjuna yang banyak dipuja-puja itu, ternyata dia suka berselingkuh dan berpoligami. Sebagai perempuan, bagaimana pendapatmu? Mau mengukuhkan budaya patriarki seperti itu atau mau meruntuhkannya? Kalau kau mengukuhkannya, maka wajarlah kalau pemilik warung Wong Solo berpoligami. Boleh-boleh saja berpoligami; agama tidak melarangnya, tapi perempuan sangat membencinya.


Dalam puisi “Kucumbu Dirimu”—puisi ini juga nyaris bagus—ada paradoks yang agak mengganggu kenikmatan pembaca. Judulnya mencerminkan tindakan aktif, namun di dalamnya ternyata sangat pasif: “sedang aku dicumbu bayang rembulan”. Coba kau poles puisi ini; apakah judulnya yang diganti atau isinya yang diperbaiki. Mungkin judulnya bisa diganti menjadi “Kaucumbu Diriku”. Tapi, hak prerogatif tetap pada Narita sebagai penyair.
Untuk sementara, saya cukupkan catatanku ini.

Citayam, 21 Januari 2010
Asep Sambodja


Narita yang baik,
Ketika manusia merasa jenuh dengan kata-kata kosong para politikus, mereka akan mencari oase pada sebuah puisi. Ketika manusia merasa tertekan dengan peraturan-peraturan, undang-undang, hukum yang tegas buat orang kecil tapi tumpul buat pejabat, penguasa, dan pengusaha, mereka merindukan suara lembut yang bernama puisi. Ketika amarah tak terkendali tumpah di jalan-jalan, mereka pun akan kangen pada puisi.


Begitu juga ketika berita disampaikan dengan penuh pretensi, maka terkadang kita menginginkan berita itu disampaikan secara puitis. Memang tidak semuanya seperti itu, pasti ada berita yang disampaikan secara proporsional dan tak emosional. Tapi, di masa neo liberalisme bersimaharajalela seperti sekarang ini, maka berita yang objektif dan elegan seperti itu semakin sulit ditemui. Puisimu yang berjudul “Tasik dan Cianjur” (Catatan Gempa) pada hakikatnya adalah sebuah berita tentang bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita di Tasikmalaya dan Cianjur. Kau, sebagai penyair, tergerak untuk mewartakan, merekam, mengabadikannya dalam puisi.


Sebagaimana wartawan yang memiliki perspektif tersendiri, dan juga memiliki pandangan yang cenderung sama dengan media tempatnya bekerja—yang tentu saja memiliki visi ataupun kepentingan tertentu—kau pun memiliki perspektif tersendiri dalam melihat bencana itu. Kaum postmodernisme berpendapat bahwa manusia itu makhluk yang unik, karena itu apa pun pendapatnya, apa pun karyanya, akan memperlihatkan keunikan itu. Puisimu pun begitu. Ada kedalaman makna yang terasa dari puisimu berikut ini.

Tasik dan Cianjur
(: catatan gempa)

kamboja tersenyum
kerandakeranda dipikul
di Tasik dan Cianjur
helai-helai mawar tertidur

Putri Narita Pangestuti
Pekalongan, 7 September 2009


Sedikit sekali penyair yang peduli dengan nasib manusia; terlebih lagi peduli pada nasib orang-orang teraniaya. Yang paling banyak ditulis oleh para penyair salon—istilah ini pertama kali dipakai oleh Rendra—adalah kegelisahan dirinya sendiri; kegelisahan eksistensialisme.


Dari yang sedikit itu, kita bisa temukan nama K.H. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Dia tidak peduli apakah yang ditulisnya itu disebut sebagai puisi atau tidak, yang penting pesan yang ingin disampaikannya kepada pembaca bisa dipahami dan dimengerti, serta dipetik manfaatnya. Puisinya yang berjudul “Rasanya Baru Kemarin” yang ditulis setiap 17 Agustus berisi kritik terhadap penguasa negeri ini. Bagi saya, puisi-puisi seperti inilah yang perlu dieksplorasi terus-menerus. Karena, penguasa memang harus dikritik terus-menerus agar tetap sadar bahwa kekuasaan itu amanah rakyat dan amanah Tuhan juga. Arahkan “mata pedang” itu ke penguasa, bukan ke rakyat jelata. Pernyataan ini bukan hanya untuk para penyair saja, tapi terutama untuk aparat penegak hukum di negeri sarang koruptor ini. Kenapa koruptor masih merajalela di Indonesiamu? Karena “mata pedang” aparat penegak hukum tidak diarahkan ke penguasa, melainkan ke rakyat jelata. Jadinya, seperti yang kau tahu, nenek yang mencuri tiga biji kakao dijatuhi hukuman penjara; Prita yang mengeluhkan adanya malpraktik di RS Omni Internasional dikenai denda Rp204 juta—saat ini kasusnya masih berproses di tingkat kasasi, sementara Artalyta yang sekarang kita kenal sebagai mafioso peradilan dekat dengan keluarga Cikeas dan ruang tahanannya melebihi hotel bintang tujuh.


Puisimu yang berjudul “Peperangan” (di Gaza) juga menarik dari segi tematik. Bahkan setiap kata yang kau torehkan dalam puisi ini memberi metafora yang kuat dalam menggambarkan betapa dahsyatnya perang Gaza itu. Kepahitan akibat perang begitu terasa dalam puisimu ini.

Peperangan
(: catatan untuk Gaza)

langit biru terkubur
kupu-kupu menghitam
di dalam mesiu
sayap
patah
terpendam
merpati putih
terjegal, tersumpal
gado-gado bersaus merah kental
terhidang
rudal menyusui bayi
air mata mati
mendung
terlalu menggumpal

Putri Narita Pangestuti
Kendal, 13 Januari2009

Dua puisimu yang lain yang menurut saya bagus adalah “Kaki Senja” dan “Ketegaran”. Yang mennonjol dari dua puisimu di bawah ini adalah kepaduan atau keutuhan sebuah puisi. Sesuatu yang ingin kau gambarkan dalam puisi ini terasa meaningful, bahkan cenderung religius. Ada hubungan aku-alam-sang pencipta dalam puisi yang padat ini. Tampak bahwa kau serius memilih kata dalam menulis puisi. Tapi harus cepat-cepat saya katakan bahwa kita jangan berhenti pada kata-kata yang indah tapi hampa makna, karena itu berilah makna pada setiap kata yang kau gunakan dalam menulis puisi.

Kaki Senja

sujud kaki senja
mengeja bait-bait mantra
ayat-ayat dikemas jiwa
: langkah mengurai makna
pada senja diikat sebuah lentera

Putri Narita Pangestuti
Semarang, 18/04/2009

Ketegaran

dalam badai yang terus menggerus
hati dan pikir tak izinkan berubah tirus
rasaku menghunus gelombang zaman yang tak kurus
seperti puisimu yang mengalir tak putus
menatap ketegaran
pada jiwa-jiwa yang kudus

Putri Narita Pangestuti
12 Nopember 2009 at 1:44 pm


Jika pelukis menggunakan kekuatan warna, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penari menggunakan kekuatan gerak, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika aktor menggunakan kekuatan acting, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penyanyi menggunakan kekuatan suara, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Saya sangat setuju dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa kata adalah segala-galanya dalam puisi. Karena itu, jangan biarkan kata-kata itu hampa makna. Jangan biarkan kata-kata itu sekadar kata yang genit tapi kosong. Kamu boleh mengutip Warteg Boys: “Okelah kalau begitu.”

Citayam, 31 Januari 2010
Asep Sambodja



Narita yang baik,
Semakin lama puisi-puisimu semakin meyakinkanku, bahwa kau tidak sedang iseng menulis puisi. Kamu pasti mengerti, menulis puisi bukan sekadar menyusun kata-kata indah, namun juga memberi arti atau makna pada setiap katanya. Sepertinya tidak mudah, tapi sesungguhnya dapat dikatakan mudah, jika kita sepenuhnya mengungkapkannya dengan penuh kejujuran. Kau bilang, “ketulusan.”


Ya, tulus dan jujur pada diri sendiri. Politikus busuk tidak akan pernah bisa jujur bahkan kepada dirinya sendiri. Makanya, penyair tidak akan pernah diam melihat ketidakadilan di depan matanya. Penyair selalu gelisah menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di kesementaraan dunia ini.


Kali ini, bukan puisi-puisi yang bernada kritik sosial yang akan saya bicarakan, namun puisi-puisi religiusmu.


Puisi “Jalan Cahaya” yang kau tulis demikian dalam maknanya. Sebuah proses pencarian yang tidak didapat secara gratis. Setiap manusia di dunia ini sebenarnya memiliki bayangan (image) tentang Tuhan yang berbeda-beda. Ada yang ingin melihat Tuhan dengan mata kepalanya sendiri untuk bisa percaya pada eksistensi Tuhan. Ada yang melambangkan Tuhan dengan suatu benda tertentu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Tuhan itu ada. Ada pula yang harus percaya dan yakin begitu saja meskipun Tuhan tidak dipersonifikasikan. Bahkan ada yang tidak percaya pada Tuhan alias atheis. Nah, puisimu ini sangat jujur. Minimal menurut saya. Bahwa “aku mengira inilah jalan cahaya”. Artinya, jalan yang kau lalui itu bisa jadi merupakan jalan yang terbaik buatmu (aku-lirik) untuk menemukan cahaya. Artinya lagi, jalan itu adalah jalan yang sangat cocok dan pantas buatmu. Namun, belum tentu pas buat orang lain. Yang menarik bagi saya adalah persoalan keyakinan kau bawa atau kau masukkan ke wilayah pribadi, wilayah yang sangat personal, dan tidak kau desakkan pada orang lain. Bahkan kepadaku pun tidak. Ini sangat relevan dengan firman Tuhan yang mengatakan “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS 109:6).

Jalan Cahaya

jiwaku memanjat tebing sunyi
mencari celah dari gelak tawa dunia
seperti air meresap-resap
tiada mampu membendungnya

jiwa kecilku
tak henti bernada
terus melesat
menyempurna pada keagungannya

aku mengira inilah jalan cahaya
dibendung tak limbung
diterjang tak karam

jalan cahaya ada dalam rahasia
memanjat sulbi-sulbi jiwa
yang menanam biji bunga seroja

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Puisi “Yang Ada dan Tiada” memperlihatkan proses pencarianmu atas Sang Maha Kasih. Tidak berhenti pada pencarian semata, namun disertai pemahaman untuk saling mengerti dan saling menerima. Yang untuk mendapatkannya tidak begitu mudah, apalagi di zaman yang serba benda ini. Sebuah zaman yang didominasi oleh paham kapitalisme liberal. Ada kapital, semua bisa diatur. Maka, jalan yang kau tempuh adalah jalan sunyi. Hanya segelintir manusia yang sudi menekuri jalan sunyi itu; jalan menuju cahaya.

Yang Ada dan Tiada

tak ada yang mampu menyamai
yang paling tiada, kecuali
yang paling ada

karena yang paling ada
ialah
yang paling tiada
ia tak berawal
tak berakhir

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Tidak mengherankan jika dalam puisi “Perahu Asing” kau merasa seperti orang asing yang berada di tengah-tengah samudera zombie. Tahukah kau, apakah zombie itu? Zombie adalah mayat hidup. Dan tahukah kau, apakah mayat hidup itu? Mayat hidup adalah sejenis manusia. Tampaknya ia seperti seorang manusia, tapi sejatinya hatinya kosong. Manusia yang hidup di bumi namun tak punya tujuan, tak punya pegangan, tak ada keinginan untuk mencari cahaya. Nabi Nuh pun pernah dianggap gila, ketika ia mengembangkan teknologi perkapalan (sayang waktu itu Alfred Nobel belum lahir; kalau sudah lahir dan kaya raya berkat dinamit, pasti Nuh dapat Hadiah Nobel), ia dianggap gila. Orang-orang yang menekuri jalan sunyi senantiasa dianggap gila. Gila menurut siapa? Kalau yang bilang gila itu orang gila, biarkan saja.

Perahu Asing

perahuku menjelma dari kulit suara
mengangkut biji wicara
dari lautan makna
tertitah dari zat yang Maha Menatap

mendayung
aku membawanya pada lautan jiwa

orang menatapnya sebelah mata
sebagian lagi bertutur cela
ada juga yang menutup rapat telinga
asyik berakrobat dengan dayung-dayung
dan balok suara mereka

perahuku dicela tak berharga
dan aku dianggapnya pemantra gila

sedang perahukulah
yang bisa sampai berlabuh pada dermaga surya

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Demikianlah.

Citayam, 13 Februari 2010
Asep Sambodja